Siang hari ini ada sebuah jembatan yang baru saja saya lalui terasa sangat panas sekali sehingga membuat saya teringat jembatan Kutai Kartanegara. Sebuah jembatan yang beberapa waktu lalu putus (runtuh) dan telah menelan korban jiwa.
Hari ini adalah hari ke-9 bulan Desember 2011, kebetulan juga diperingati sebagai hari anti korupsi. Tatkala berbicara mengenai ‘anti korupsi’ ini tak pelak sayapun kembali teringat pada sosok Bang Amir Husin Daulay, yaitu sosok yang saya anggap sebagai pelopor anti korupsi Negeri ini. Apalagi berbarengan dengan hari ini pula Bang Amir Husin Daulay memperingati hari jadinya. Terucap “Selamat ulang-tahun” untuk Bang Amir, dan isi tulisan ini semoga bisa menjadi bagian kado yang bisa Bang Amir terima.
***
Limabelas hari lalu, tepatnya sore hari pukul 16.20 waktu setempat, tanggal 26 November 2011
kita semua tahu, bahkan bukan saja kita warga negeri ini, masyarakat
dunia juga menyaksikan runtuhnya sebuah jembatan yang menghubungkan
antara kota Tenggarong dengan kecamatan Tenggarong Seberang.
.
Jembatan Kutai Kartanegara merupakan jembatan kedua yang dibangun melintasi Sungai Mahakam setelah Jembatan Mahakam di Samarinda sehingga juga disebut Jembatan Mahakam II. Jembatan ini dibangun menyerupai Jembatan Golden Gate di San Fransisco, Amerika Serikat. Pembangunan jembatan ini dimulai pada tahun 1995 dan selesai pada 2001 dengan kontraktor PT Hutama Karya yang menangani proyek pembangunan jembatan tersebut.Saat diresmikan, jembatan ini dinamai Jembatan Gerbang Dayaku yang diambil dari slogan pembangunan gagasan bupati Kutai Kartanegara saat itu, Syaukani Hasan Rais. Sejak Syaukani tidak menjabat lagi sebagai bupati, jembatan ini diganti namanya menjadi Jembatan Kutai Kartanegara ing Martadipura atau Jembatan Kartanegara.Jembatan ini juga merupakan akses menuju Samarinda ataupun sebaliknya yang dapat ditempuh hanya sekitar 30 menit. Melewati Jembatan Gerbang Dayaku Kutai Kartanegara ada pemandangan menarik yang dapat disaksikan, yaitu hamparan sebuah pulau kecil yang memisahkan Tenggarong dan Kecamatan Tenggarong Seberang, yaitu Pulau Kumala, sebuah pulau yang telah disulap menjadi Kawasan Wisata Rekreasi yang banyak diminati oleh wisatawan lokal maupun mancanegara.Di kawasan Jembatan Kutai Kartanegara juga terdapat Jam Bentong yang merupakan sebuah tugu yang terdapat taman-taman yang terlihat asri dan indah jika dilihat dari atas jembatan. Di dekat jembatan dibangun sarana olahraga panjat dinding sebanyak 2 buah. Kawasan ini setiap sorenya selalu dipenuhi oleh pengunjung yang dapat menikmati keindahan Jembatan Kutai Kartanegara serta memandang Pulau Kumala dari kejauhan [wikipedia].
Menurut informasi yang saya ketahui, salah satunya sebagaimana yang tertulis diatas, bersumber dari wikipedia, jembatan Kukar (Kutai Kartanegara)ini baru berumur kurang lebih 10 tahun.
Membaca paparan Mas Wikipedia, utamanya mengenai penyerupaan jembatan Kuker dengan jembatan Jembatan Golden Gate di San Fransisco,
maka jika kita harus melihatnya dari sudut pandang kemegahan, tentu
pembangunannya pun tak sedikit menghabiskan biaya. Lalu pertanyaannya
adalah; “Kenapa wujud jembatan yang terlihat megah ini baru dalam kurun
waktu 10 tahun sudah mengalami kerusakan…? Padahal sedang tidak terjadi
gempa, ataukah keberadaan lahan gambut disebagian dataran itu cukup kuat dijadikan sebagai alasan pembenaran atas keruntuhan jembatan Kutai Kartanegara itu…?”
Sudah
barang tentu ada tanda tanya yang musti kita sematkan dibelakang
kalimat tersebut. Tanda tanya itu harus tersematkan lantaran yang bisa
kita (saya) saksikan sebagai wong cilik justru hanya bisa sebatas membandingkannya dengan jembatan sèsèk (wot).
Jembatan sèsèk atau “wot” adalah jembatan yang sering terbuat atas swadaya, swadana, serta swasembada masyarakat . Jembatan sèsèk
berasal dari bambu. Jembatan ini masih banyak terdapat diperkampungan
(Jawa) demi memenuhi infrastruktur yang belum terjamah secara
permanen.
Saya membandingkan Jembatan Kutai Kartanegara dengan jembatan sèsèk pasalnya bahwa wujud tak megahnya jembatan sèsèk
dengan dilalui setiap hari oleh orang-orang perkampungan saja
terkadang masih mampu bertahan lebih dari 10 tahun. Lalu berapa ribu
kali lipat jembatan sèsèk kalau harus dibuat dengan anggaran pembuatan jembatan Kukar (Kutai Kartanegara) tersebut..?
Sebagai wong cilik yang awam segala macem urusan tètèk-mbengèk
anggaran pemerintahan, sejatinya hanya sesederhana itulah saya
memikirkan pun membandingkannya. Tentu ada yang tida beres dalam
mengenyam tali-temali, memasang patok, menyambungkan bilah demi
terkontruksinya jembatan Kutai Kartanegara. Namun masih sebagai wong cilik saya belum begitu mahfum, entah dimana letak ketidakberesannya.
.
‘
Lain
dari itu, yang saya tahu ikhwal ‘jembatan’ dibangun adalah demi
menghubungkan antara wilayah satu dengan yang lainnya. Itulah fungsinya.
Tatkala
menyimak tentang fungsi-guna sebuah jembatan yang sebagai alat
penghubung itu, tak pelak ingatan saya pun kembali melayang pada
wejangan orang-orang tua terdahulu, utamanya mengenai wejangan yang
berujud sanépa. Yaitu wejangan yang disampaikan dengan wujud “perlambang”. Diakhir wejangan berujud sanépa itu ada hal yang pasti bisa kita petik diakhirnya yaitu adalah sebuah tanda (sasmita).
Nah kembali pada ikhwal “jembatan”, atau kreteg
dalam bahasa Jawanya, memiliki fungsi sebagai penghubung, perantara,
bisa kita maknai dalam kehidupan ini. Makelar, brokker, dan kata
padanan lainnya.
Kalau kita mau menguak, sejatinya ini juga mengisyaratkan pada kita semua bahwa sesuai wejangan para tetua ‘ngèlmu Jawa’,
runtuhnya jembatan Kutai Kartanegara sudah semestinya juga bisa
dianggap sebagai sasmita pun tanda pengingat pada semua anak negeri ini.
Memberikan perlambang bahwa jika pada saat pembangunan sebuah
jembatan itu ada ketidakberesan, maka yang akan terjadi adalah juga
ketidaklamaan jembatan itu berdiri (meskipun terlihat megah). Begitu
juga pada manusianya, tatkala banyak anak negeri ini berprofesi
sebagai makelar, perantara, penghubung, pun broker
pada hal (kasus) yang tidak baik, maka tak lama lagi tunggulah
keruntuhannya. Mungkin inilah salah-satu yang bisa dilihat kalau kita
menyaksikannya dari sudut-pandang inti philosophy.
Masih dalam sasmita yang sudah bisa kita saksikan kebenarannya juga, bahwa akan lebih langgeng sosok jembatan sèsèk (wot)
karena didasari atas kesederhanaan, kebersamaan, pun kejujuran. Kalau
memang harus terdiri dari enam patok bambu ya tetap dibangun dengan
wujud enam patok bambu, bukan lima atau empat patok saja.
Melihat sasmita ini, bukan keinginan saya untuk menyampaikan pesan yang bersifat primordialis karena mengandung aroma ke_Jawa-Jawa’an.
Sama sekali bukan hal itu yang ada dibenak. Lain dari itu, berawal dari
wejangan tersebut terusterang justru saya masih tetap berkeinginan
membeberkan beberapa pertanyaan kepada semuanya tak sebatas masyarakat
Jawa saja, bahkan lebih luas dari masyarakat Indonesia
jika sekiranya bisa. Tepatnya kepada para makelar, para penghubung,
para perantara pun kaum broker serta pada para penyelenggara negeri
yang saya rasa juga turut serta dalam pembangunan jembatan itu.
“Sudahkah
Anda-Anda semua Yang terhormat ini belajar dari pendidikan para leluhur
kita…? Ataukah justru otak kalian sudah terbungkus bahan-bahan
pembangun jembatan itu…?” “Tidakkah cukup pemberian pelajaran tentang
ilmu kesederhanaan, jiwa kebersamaan, pun laku kejujuran para
pembangun jembatan sèsèk (wot) itu..?” [uth]
copas DARI SUMBERNYA : http://ikanmasteri.com/archives/3082
Tidak ada komentar:
Posting Komentar